15 Feb 2020 11:29
ppkhi.or.id
Sebuah organisasi advokat yang sehat seharusnya memberikan manfaat bagi kesejahteraan anggotanya.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat—khususnya pada bab 10—telah dengan tegas menyatakan definisi, fungsi, maupun kewenangan sebuah organisasi advokat. Pasal 28 ayat 1 UU Advokat, misalnya. Di sana tertulis bahwa:
“Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat.” |
Dari pasal ini, dapat dipahami bahwa selain menjadi wadah atau naungan bagi para advokat, organisasi ini juga berwenang untuk meningkatkan kualitas profesi anggotanya melalui beberapa cara. Cara-cara tersebut meliputi penyelenggaraan pendidikan khusus profesi advokat, pengujian dan pengangkatan advokat, menjalankan fungsi pengawasan advokat berdasarkan kode etik yang sudah ditetapkan, serta jika perlu—dengan tegas memberhentikan anggotanya, jika terbukti melanggar ketentuan.
Berperan sebagai pemberi jasa hukum, tidak dapat diingkari—profesi advokat menjadi alat penting bagi sebuah negara untuk mewujudkan keadilan hukum untuk masyarakat. Pun itu sebabnya, seorang advokat harus memperjuangkan profesionalitas dan independensi ketika menjalankan tugasnya. Pada saat yang bersamaan, dua hal ini yang akhirnya menjadi tanggung jawab sebuah organisasi advokat, untuk ‘menjamin’ para anggotanya untuk senanstiasa menjalankan tugasnya sesuai dengan kode etik dan peraturan perundang-undangan.
Namun, selain harus memastikan kualitas, mulai dari latar belakang ilmu dan pendidikan yang diikuti, penyelenggaraan ujian yang tepercaya, hingga penyediaan program magang yang mumpuni, sebuah organisasi advokat juga wajib menjamin serta melindungi kesejahteraan anggota dan keluarganya. Salah satu caranya, yakni dengan mulai membangun tempat khusus yang dapat digunakan untuk berbagai fungsi, seperti lokasi diklat, rapat kerja nasional (rakernas), musyawarah nasional (munas), atau justru lokasi tempat tinggal bagi anggota organisasi yang terdampak bencana alam.
Fungsi Sosial dan Transparansi
Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI), Dheky Wijaya. Foto: Istimewa.
Meski ada banyak organisasi advokat yang memiliki program sosial khusus untuk membantu para anggotanya, Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI), Dheky Wijaya menilai praktiknya masih belum maksimal. “Saya berandai-andai, jika organisasi advokat memiliki iuran untuk organisasi yang memberikan manfaat kembali terhadap anggotanya. Misalnya, dengan pelatihan materi yang up-to-date dan cuma-cuma, serta peningkatan bantuan sosial pada keluarga anggota organisasi yang telah meninggal,” tutur dia.
Sayangnya, kondisi ideal tersebut tidak dapat tercapai sebab ia harus mendengar beragam praktik yang bertentangan dengan fungsi organisasi advokat. Sebagai contoh, adanya oknum yang meminta pembayaran di luar hal yang ditentukan kepada anggota organisasi. Hal ini dapat terjadi setiap kali mereka ingin mengikuti ujian pengambilan sumpah, pendaftaran kartu anggota, bahkan menuntaskan magang sebagai syarat menjadi advokat. Selain itu, ada pula organisasi yang mensyaratkan untuk memasukkan nama pengurus organisasi sebagai penerima kuasa setiap kali advokat menerima perkara. Padahal, sebuah organisasi advokat yang sehat adalah organisasi yang ‘organ-organnya’ mampu menjalankan fungsi sesuai UU, salah satunya menjaga independensi dengan tidak pernah meminta iuran dengan tujuan di luar kepentingan advokat maupun organisasi.
Selain itu, satu hal yang perlu dicatat adalah soal transparansi. Sering kali ada keluhan seputar transparansi dalam proses pengambilan sumpah advokat, yang tidak seharusnya terjadi. Bagaimanapun, seorang advokat berhak mengetahui nilai ujiannya, alasan ketidaklulusannya, serta tanggal pelantikan atau penyumpahan, sehingga nantinya, hal ini tidak membebani mereka. “Ada banyak kasus, di mana advokat yang telah lulus ujian, membayar biaya pengangkatan, dan pengambilan sumpah, tetapi akhirnya dirugikan karena tanggal sumpah tidak kunjung keluar. Hingga kini, baik jadwal ujian profesi advokat atau pengangkatan dan pengambilan sumpah pun sama-sama tidak memiliki ketentuan pasti penyelenggaraannya,” Dheky menambahkan.
Berkaca dari praktik yang terjadi di lapangan, Dheky sendiri menilai perlu ada revisi bagi UU Advokat, baik dari organisasi maupun advokat yang harus dirumuskan bersama-sama. Semuanya, demi menciptakan advokat sebagai profesi terhormat, independen, serta mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat luas. Apalagi, mengingat sistem multibar seharusnya menciptakan persaingan sehat di antara banyak organisasi advokat; sekaligus menciptakan ruang yang lebih luas bagi kesejahteraan anggotanya.
Artikel ini merupakan kerja sama antara Hukumonline dengan Pembina Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI). |